Bandung, IDN Times - Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menjadi strategis karena bisa dimanfaatkan untuk berbagai sumber kebutuhan. Sekitar 50 persen aliran sungai ini melewati daerah urban dengan tingkat kepadatan tinggi. Mulai dari hulu hingga ke hilir, sektor pertanian, peternakan, dan industri bersama-sama memanfaatkan air dari Citarum. Pemanfaatan ini bahkan sudah terjadi sejak puluhan tahun silam.
Perlahan tapi pasti, keberadaan usaha berbagai sektor di sekitar bantaran sungai Citarum menimbulkan permasalahan, yakni limbah. Pembuangan limbah yang berlebihan baik domestik maupun industri berdampak pada kualitas air yang memburuk.
"Mungkin dulu tidak separah sekarang, jadi pengawasan juga tidak seperti ini. Tapi perkembangan (pembuangan limbah) semakin tak terkendali," ujar Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, Eva Fandora, ketika berbincang dengan IDN Times beberapa waktu lalu.
Menurut Eva, selain limbah domestik, industri juga banyak mengotori Citarum. Selama ini tidak sedikit industri yang nakal dalam mengolah limbah hasil produksi. Biasanya mereka membuang limbah tanpa mengolahnya terlebih dahulu agar sesuai dengan baku mutu.
Dinas Lingkungan Hidup baik di kabupaten/kota maupun provinsi sebenarnya sering melakukan penutupan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Namun, dalih mengganggu produksi industri yang kemudian bisa berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) kerap disuarakan.
Keberadaan TNI melalui program Citarum Harum yang ikut serta menutup saluran IPAL sebenarnya menjadi shock therapy bagi para pelaku industri. Teriakan mereka agar bisa diberi waktu untuk memperbaiki IPAL pun tak diindahkan.
"Ari (kalau) kemarin ke mana saja, berpuluh-puluh tahun ke mana aja. Kan gitu yah," ungkpa Eva.
