Millennial vs Tradisional, Perang Suara Pilpres di Jawa Barat

Bandung, IDN Times – Tidak bisa dipungkiri jika Jawa Barat, provinsi dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) terbanyak di Indonesia dengan 37 juta suara, adalah lokasi menggiurkan bagi dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden di Pemilu Presiden 2019. Baik pasangan Joko “Jokowi” Widodo-Ma'ruf Amin mau pun pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno sama-sama mengagendakan kampanye di Jawa Barat sepekan sebelum Pilpres 2019 digelar.
Firman Manan, pakar politik Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran mengatakan jika kondisi dinamikan elektoral di Jawa Barat yang belum jelas arahnya, membuat kedua pasangan capres merasa masih memiliki kesempatan mendulang suara.
“Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat identik dengan pasangan Jokowi-Ma'ruf, karena merupakan basis PDI Perjuangan dan PKB. Nah, kalau Jawa Barat ini dinamika elektoralnya masih sangat ketat, pertarungannya ketat,” kata Firman kepada IDN Times lewat sambungan telepon, Sabtu (30/3).
1. Berebut suara di masa akhir

Dengan begitu, ada semacam fokus di saat-saat terakhir untuk perebutan suara. Apalagi menurut berbagai studi, kata Firman, karakteristik pemilih Jawa Barat doyan menentukan pilihan pimpinan daerah di saat-saat akhir.
Bicara soal berebut suara di masa-masa akhir jelang Pemilu, hal yang sama terlihat dalam Pemilihan Umum Gubernur di Jawa Barat pada 2018. Ketika itu, fenomena menarik ditampilkan pasangan nomor urut 03, Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Asyik), yang bermanufer kencang jelang Pilgub 2018.
“Di Pilgub 2018, kita lihat bagaimana ada pergeseran suara di saat-saat terakhir. Pasangan Asyik yang di berbagai survey hanya bisa menembus angka 8 persen, ternyata bisa mendapat 27 persen suara,” kata Firman.
2. Jokowi berjarak dengan kelompok Islam?

Berkaca pada Pilpres 2014, Jokowi-Jusuf Kalla yang hanya mendapat 40,22 persen suara di Jawa Barat, kalah telak dari pasangan Prabowo-Hatta Rajasa yang mampu meraup 59,78 persen suara. Kala itu, isu yang menimpa Jokowi berpengaruh cukup signifikan bagi suaranya di Jawa Barat.
“Sama seperti saat ini, Jokowi diisukan pro China, non-muslim, dan sebagainya. Belakangan isu itu yang mendorong Jokowi memilih Maaruf Amin sebagai wakilnya,” katanya.
3. Bergesernya karakter pemilih Jawa Barat

Pada 2014, memang pemilih di Jawa Barat masih didominasi karakter penduduk tradisional. “Karakter tradisional itu mereka yang berpikiran sangat religious dan suka memilih pemimpin dari sosok terkenal. Mangkanya Ahmad Heryawan berhasil menjadi Gubernur Jawa Barat dua periode berturut-turut dengan merekrut Dede Yusuf dan Deddy Mizwar sebagai wakilnya,” tutur Firman.
Namun, saat ini, pemilih millennial semakin banyak bermunculan. Pada Pilpres 2019, di Jawa Barat terdapat 15-16 juta pemilih millennial dengan pola pikir yang berbeda dibandingkan pemilih tradisional.
“Pemilih millennial cenderung memlilih berdasarkan kerjanya. Bukan partainya, apalagi berdasarkan pembangunan karakter dari sisi religi,” tuturnya.
3. Prabowo diungguli pemilih tradisional, belum dapatkan suara millennial

Sementara itu, lanjut Firman, Prabowo sejauh ini masih bersama kekuatannya yang dipandang dekat dengan kelompok Islam. Maka itu, Firman menyimpulkan bahwa penduduk tradisional di Jawa Barat cenderung memilih Prabowo.
Namun, ujar Firman, Prabowo belum berhasil mendekati millennial Jawa Barat. Kehadiran Sandiaga yang dinilai dekat dengan pemuda menurut Firman belum berdampak signifikan bagi pasangan 02 itu.
“Pertarungannya masih sangat ketat, kita belum bisa memprediksi siapa sih yang akan menang. Memandang Jawa Barat memang lebih sulit dibandingkan Jawa Timur dan Jawa Tengah, atau bahkan Sumatera,” katanya.
5. Tidak melihat Ma'ruf dan Sandiaga

Irma Elvina Hanna, 25 tahun, Mahasiswi Universitas Padjadjaran yang ditemui IDN Times menyepakati pandangan Firman. Hingga saat ini, wanita asal Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu mengaku belum menjatuhkan pilihannya bagi kedua pasangan capres.
“Saya masih bingung harus memilih Jokowi atau Prabowo. Mungkin saya baru punya pilihan di saat-saat terakhir,” tuturnya, kepada IDN Times, Sabtu (30/3).
Di matanya, Jokowi merupakan sosok presiden merakyat dan lemah lembut. Karakter tersebut, kata Irma, ia dapatkan dari media televisi dan media sosial. Ia pun tidak melihat Jokowi sebagai sosok yang berjarak dengan kelompok agama tertentu.
“Saya tidak melihat pemimpin berdasarkan agama atau partai politiknya. Bukan itu yang mendasari baik atau buruknya seorang pemimpin. Jadi saya enggak begitu mendengarkan isu politik yang disangkutpautkan dengan agama,” tuturnya.
Sementara Prabowo, bagi Irma adalah sosok yang tegas dan pemberani. Namun, di mata Irma, Prabowo tidak terlalu akrab dengan penduduk seusianya. “Memang di nomor urut 02 ada Sandiaga Uno yang bisa terasa lebih dekat dengan millennial. Tapi, sejauh ini saya lebih memandang Prabowo sebagai pengusaha sukses saja,” kata Irma.












